Akibat Terjadinya Perceraian
Perlu diketahui bahwa dari perceraian yang terjadi, tentu ada akibat atau dampak yang akan dirasakan. Apabila seorang istri terbukti selingkuh, maka dalam memutus perkara perceraian, Majelis Hakim akan mempertimbangkan hak asuh atas anak yang merupakan hasil dari perkawinannya.
Mengenai hal ini, Pasal 45 UUP menyebutkan bahwa kedua orangtua (dari si anak) memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketika salah satu atau bahkan kedua orang tua dari si anak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai hukum atau ketentuan yang berlaku, maka hal tersebut sudah menyalahi kewajibannya dalam mendidik anaknya.
Lebih lanjut lagi, dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa anak yang berusia di bawah 12 tahun adalah hak ibunya.
Ketentuan ini secara tidak langsung menerangkan bahwa ibulah yang memiliki hak penuh atas anaknya. Sedangkan, bagi anak yang berusia di atas 12 tahun disebutkan bahwa anak tersebut dapat memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pada dasarnya ketika terjadi perceraian dalam suatu ikatan perkawinan, maka yang diutamakan mendapat hak asuh atas anak dari perkawinan tersebut adalah sang ibu.
Hal ini sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 tertanggal 24 April 1975, dimana dalam putusan tersebut dituliskan bahwa penentuan pemberian hak asuh anak dalam suatu peristiwa perceraian harus mengutamakan ibu kandung, terlebih lagi bagi anak yang masih berusia di bawah 12 tahun.
Hal itu dikarenakan pada usia tersebut anak masih membutuhkan hadirnya sosok ibu dalam membersamai tumbuh kembangnya, kecuali untuk perceraian yang terjadi karena peristiwa kematian yang mana istri lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak.
Suara.com - Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, tak jarang terjadi masalah, bahkan timbul peristiwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tak jarang, orang yang mengalami KDRT memilih untuk mengajukan cerai terhadap pasangannya. Lantas bagaimana hukum Islam minta cerai karena KDRT?
KDRT merupakan sebuah tindakan pelanggaran hukum dalam Undang-Undang positif, hal ini diatur pada UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dengan hukuman pidana 5 tahun dan denda Rp15 juta.
Selama ini, KDRT identik dengan tindakan yang mengarah pada perbuatan kriminalis seperti pemukulan, penamparan, penganiayaan, intimidasi, dan hal yang melukai badan lainnya. Namun KDRT juga bisa bersifat spiritual emosional, dan perkara-perkara yang tidak kasat mata. Nah, di dalam Islam hukum mengenai KDRT juga telah dijelaskan oleh beberapa ulama.
Hukum Islam Minta Cerai Karena KDRT
Baca Juga: 10 Tanda Pelaku KDRT Tidak Akan Berubah, Seperti Armor Toreador Suami Cut Intan Nabila?
Salah satu hukum KDRT dalam Islam dijelaskan oleh Buya Yahya, dalam tayangan di kanal YouTube Al-Bahjah TV, yang diunggah pada tanggal 20 Desember 2020. Beliau menanggapi terkait hukum KDRT di dalam Islam.
Apabila benar seorang istri sudah mengabdi bahkan merajakan seorang suami, maka ia tidak termasuk istri yang durhaka. Sebaliknya, bila istri sudah bersikap demikian namun sang suami justru menyepelekan bahkan bersikap kasar hingga memukul, maka bisa dibilang ia termasuk suami yang durhaka.
Oleh sebab itu, istri yang dipukul boleh mengajukan cerai kepada suami. Jangankan dipukul berkali-kali, baru dipukul satu kali saja istri sudah diperkenankan untuk meminta cerai kepada suami. Karena sejatinya perempuan ada bukan untuk dipukuli.
Lebih lanjut, menurut Buya Yahya, meminta tolong kepada orang lain saat dizalimi itu bukan perbuatan yang salah. Selain itu, kita juga diperkenankan cerita kepada orang yang akan bisa menolong, asalkan seperlunya dan tidak menggunjing.
Akan tetapi, sebelum mengajukan gugatan cerai, Buya Yahya mengingatkan tentang bahaya perceraian. Salah satunya yaitu kemampuan hidup seorang perempuan setelah ia menyandang status janda. Sebab setelah cerai, seorang wanita tidak bisa menyalurkan kebutuhan batin seperti saat masih berumah tangga.
Baca Juga: Wajib Tahu Jenis-Jenis KDRT, Agar Tak Bernasib Seperti Cut Intan Nabila
Di sisi lain, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Lampung KH Munawir menjelaskan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya hukumnya adalah haram. Perilaku KDRT ini bisa menjadi dasar atau alasan seorang istri menggugat cerai suaminya. Bahkan pengadilan pun bisa menjatuhkan cerai tanpa ada gugatan dari sang istri.
Itu tadi penjelasan mengenai hukum Islam minta cerai karena KDRT. Akhir-akhir ini KDRT menjadi isu yang sering terjadi dan kebanyakan korbannya adalah wanita dan anak-anak. Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari tindakan zalim ini.
Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari
Perlu diketahui bahwa dalam mazhab Syafi’i yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, perkataan “Saya cerai kamu” yang diucapkan suami itu sudah termasuk cerai dalam hukum Islam, walaupun belum masuk di persidangan perceraian di kejaksaan.
Artinya, ketika sudah mengatakan demikian, secara fikih, suami itu sudah tidak boleh melakukan hubungan suami istri, kecuali sudah rujuk terlebih dulu. Karenanya, untuk hati-hati, para suami jangan sembarangan mengucapkan kata cerai kepada istrinya.
Begitupun istri, jangan mudah meminta cerai kepada suami karena masalah sepele dalam rumah tangga. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Seorang istri yang mudah meminta cerai suaminya hanya karena permasalahan sepele, maka dia tidak akan mencium baunya surga” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Artinya, istri yang dengan mudah meminta cerai pada suaminya dikhawatirkan tidak akan masuk surga bersama suaminya yang saleh.
Karenanya, ulama mengklasifikasi permasalahan apa saja yang memperbolehkan istri menggugat atau meminta cerai pada suaminya.
Pertama, suami sering melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap istri, sehingga membuatnya cacat. Kedua, suami sering meninggalkan salat, berjudi, mabuk, main perempuan. Ketiga, suami tidak memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak dan istri selayaknya, padahal ia mampu. Keempat, suami enggan memenuhi kebutuhan biologis istri padahal ia mampu.
Karenanya, alangkah baiknya bila suami atau istri tidak mudah mengucapkan kata cerai. Apalagi jika masih dapat dikomunikasikan dengan baik di antara keduanya. Bila perlu, keduanya mendatangkan orang lain untuk mendamaikan perseteruan rumah tangganya. Wallahu a’lam.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
BincangSyariah.Com – Kehidupan keluarga yang bahagia serta harmonis merupakan harapan atau keinginan siapapun yang akan dan telah menjalani kehidupan pernikahan. Setiap pasangan suami istri mendambakan kehidupan rumah tangga yang tenteram, damai dan bahagia.
Kebahagiaan pernikahan tersebut tidak akan terbangun kecuali hak dan kewajiban pasangan tersebut saling terpenuhi. Terkait dengan kewajiban suami terhadap istri misalnya, suami wajib menunaikan hak materi berupa mahar dan nafkah materi, maupun hak non-materi istri seperti memberikan nafkah batin serta berlaku adil terhadapnya. Ini seperti disebutkan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū (j. 9 h. 6832),
للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل.
“bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafaqoh dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.”
Ketika hak-hak dan kewajiban dalam rumah tangga tidak terpenuhi maka akan berakibat kepada keretakan rumah tangga itu sendiri, dan yang terburuk adalah mengakibatkan pernikahan tersebut menjadi berakhir dengan perceraian.
Pada prinsipnya, agama tidak menghendaki (meski tidak melarang) terjadinya perceraian setelah terjadi sebuah pernikahan. Namun, jika ada sekian faktor – termasuk tidak mampu menafkahi – yang menunjukkan kalau perceraian bagi pasangan yang menjadi kehidupan rumah tangga adalah jalan terbaik, maka agama memiliki penjelasan tentang fikih perceraian tersebut. Perceraian dibagi menjadi dua yaitu: furqotu talaq (perceraian talaq), yaitu suami mentalak istri dan furqotu faskhin (cerai gugat), dimana istri menggugat cerai suami di hadapan pengadilan. Salah satu faktor yang dibenarkan agama untuk melakukan faskh adalah kondisi jatuh miskinnya seorang suami (mu’sir) dan ia tidak lagi mampu menafkahi istrinya. Ini seperti disebutkan dalam kitab I’anatu at-Thalibin ‘ala Hill Alfāẓ Fath al-Mu’īn (j. 4 h. 98) dan Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb (j. 2 h. 147),
فرع في فسخ النكاح: وشرع دفعا لضرر المرأة يجوز (لزوجة مكلفة) أي بالغة عاقلة لا لولي غير مكلفة (فسخ نكاح من) أي زوح (أعسر) مالا وكسبا لائقا به حلالا (بأقل نفقة) تجب وهو مد (أو) أقل (كسوة) تجب كقميص وخمار وجبة شتاء
“sebuah cabang pembahasan di dalam penjelasan faskh nikah: faskh disyariatkan guna mencegah doror (bahaya) seorang istri dan faskh boleh dilakukan bagi istri yang baligh, berakal terhadap suami yang melarat akibat tidak memiliki harta, atau pekerjaan yang layak serta halal yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi (pangan), yaitu setidaknya satu mud. Atau tidak memiliki harta yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi sandang-nya istri, seperti gamis, kerudung, atau jubah untuk musim dingin.” (I’anatu at-Ṭālibīn, j. 4 h. 98)
وَلَا ” فَسْخَ ” قَبْلَ ثُبُوتِ إعْسَارِهِ ” بِإِقْرَارِهِ أَوْ بِبَيِّنَةٍ ” عِنْدَ قَاضٍ ” فَلَا بُدَّ مِنْ الرَّفْعِ إلَيْهِ ” فَيُمْهِلُهُ ” وَلَوْ بِدُونِ طَلَبِهِ ” ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ” لِيَتَحَقَّقَ إعْسَارُهُ وَهِيَ مُدَّةٌ قَرِيبَةٌ يُتَوَقَّعُ فِيهَا الْقُدْرَةُ بِقَرْضٍ أَوْ غَيْرِهِ.
“tidak ada (boleh) faskh sebelum penetapan melaratnya suami dengan pengakuan dari dirinya atau dengan adanya bukti di hadapan Qadhi’ (pengadilan). Maka harus dilaporkan kepada Qadhi terlebih dahulu. Kemudian Qadhi’ memberi tenggang waktu kepada suami selama tiga hari, sekalipun dengan tanpa permintaannya, agar nyata kemelaratan dari suami tersebut dan itu waktu yang sebentar yang mana kemampuan ditangguhkan dengan cara mencari pinjaman atau selainnya.” (Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb, j. 2 h. 147),
Dari dua penjelasan ulama diatas, menurut hemat penulis walaupun menggugat cerai seorang istri diperbolehkan kepada suami karena jatuh miskin, namun hal ini tidak melulu dipandang dengan akal yang pendek. Oleh karena itu syariat memberikan opsi tatkala suami dalam keadaan jatuh miskin, hendaknya istri bersabar (jika bisa), dan boleh bagi istri untuk kerja mencari nafkah keluarga tatkala suami sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Artinya, perceraian bukan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Meskipun hal ini bukan menafikan bahwa istri boleh saja menggugat cerai suami ketika jatuh miskin.
Assalamualaikum. wr. wb.. Mohon pencerahan ustadz ttg hukum istri yg durhaka kpd suami dan ttg hukum istri yg minta cerai krn suaminya berpenghasilan kecil.
Tolong minta referensi, afwan. Syukron ustadz… wassalamualaikum. wr. wb…
Wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh..
Hukum istri yang durhaka atau dalam istilah syari’at dikenal dengan istilah Nusyuz. Yang dimaksud Nusyuz yaitu istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah wajibkan, dan pembangkangan ini telah menonjol.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan membencinya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 24).
Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliah berpendapat bahwa nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang wajib kepada suami. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 284).
Ringkasnya, nusyuz adalah istri tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajibannya.
Hukum Nusyuz Nusyuz wanita pada suami adalah haram. Wanita yang durhaka (nusyuz) yang tidak lagi mempedulikan nasehat, maka suami boleh memberikan hukuman. Dan tidaklah hukuman ini diberikan melainkan karena melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Mengenai hukuman yang dimaksud disebutkan dalam ayat,
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs. An Nisa’: 34).
Untuk pertanyaan yang kedua perihal hukum istri yang minta cerai dikarenakan gaji yang kecil, Perlu diketahui beberapa hal berikut:
1. Suami berkewajiban memberi nafkah semampunya Anda jangan keburu protes kepada suami ketika posisi Anda dan keluarga “kelihatannya belum semapan tetangga”, uang belanja masih kurang, belum sempat beli baju baru, tidak bisa jalan-jalan ke shopping center, tidak ada rekreasi, belum dapat perawatan kulit, belum ngasih kiriman ke orang tua, dan seabrek keinginan Anda untuk menuju bahagia. Sayangnya, gaji suami Anda sebulan tidak cukup. Kalau dipakai untuk itu semua, paling-paling, cuma seminggu sudah habis.
Jangan buru-buru, sikapi itu dengan hati dingin dan pasrah kepada yang Kuasa. Suami Anda tidak dibebani tanggung jawab yang lebih dari batas kemampuannya. Semoga Alloh akan segera memberikan kemudahan bagi keluarga Anda. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kemampuan yang Allah berikan kepadanya. Allah, kelak, akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Qs. Ath-Thalaq: 7)
Sebenarnya, permasalahannya bisa kita paksa untuk disederhanakan. Ketika kita menyadari bahwa penghasilan atau gaji suami belum cukup untuk mewujudkan konsep “hidup bahagia” yang ideal menurut anda, segera ambil tindakan skala prioritas. Tidak semua keinginan anda bisa terpenuhi dengan gaji Suami. Dahulukan yang paling penting, kemudian yang penting. Kebutuhan yang sekiranya bisa ditahan, mungkin belum saatnya diwujudkan sekarang. Bersabarlah, perbanyak memohon kepada Alloh kemudahan hidup, sambil sedikit mencoba menabung untuk mewujudkan cita yang anda harapkan.
2. Perceraian perkara yang diharap dan disenangi iblis Barangkali, hadits berikut bisa membuat anda sangat menyesal jika harus bercerai. Disebutkan dalam hadis sahih dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, Nabi ‘alaihish shalatu was salam bersabda,
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِىءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِىءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ – قَالَ – فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
“Sesungguhnya, singgasana iblis berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka, ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.’ Kemudian, iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu.’” (HR. Muslim, no. 2813)
Pada dasarnya, talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis karena perceraian memberikan dampak buruk yang besar bagi kehidupan manusia. Betapa banyak anak yang terlantar, tidak merasakan pendidikan yang layak dikarenakan broken home. Bisa jadi, dia akan disiapkan iblis untuk menjadi bala tentaranya. Bahkan, salah satu dampak negatif sihir yang disebutkan oleh Alloh subhanahu wata’ala dalam Alquran adalah memisahkan antara suami dan istri. Allah berfirman,
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه
“Mereka belajar dari keduanya (Harut dan Marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Secara khusus, bagi pihak istri, jangan bermudah-mudah minta cerai hanya karena kesulitan ekonomi yang anda alami. Mulailah banyak melihat orang-orang yang mungkin jauh lebih sulit dari pada kita, mudah-mudahan bisa menjadikan kita lebih bersyukur, dan jangan lupa senantiasa meningkatkan ketakwaan dan rasa tawakkal kita kepada Alloh subhanahu wata’ala. Renungkan hadits-hadits berikut, semoga Anda akan sedikit merinding untuk sampai hati mengajukan gugat cerai kepada suami Anda.
Dari Tsauban radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana pun yang meminta suaminya untuk menceraikannya, tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia diharamkan mencium bau surga.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah, dinilai sahih oleh Syu’aib Al-Arnauth)
Dalam riwayat yang lain, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الـمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الـمُنَافِقَاتُ
“Wanita yang suka meminta cerai (tanpa alasan yang benar), merekalah para wanita munafik.” (H.R. Ahmad dan Turmudzi; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Akan tetapi, tunggu, jangan salah paham dulu. Hadits di atas bukanlah melegalkan sikap suami untuk tidak memenuhi hak istrinya. Bagi Anda, para istri yang tidak mendapat hak nafkah dari suami, Anda berhak menuntut suami untuk menunaikan kewajibannya. Namun, sekali lagi, itu belum tepat saatnya Anda minta cerai.
3. Potret rumah tangga Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam Sebagai pemungkas, mari kita simak kemesraan kelurga Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam di tengah himpitan ekonomi yang mereka alami. Berikut ini kesaksian sejarah dari mereka yang pernah sezaman dengan manusia paling mulia di dunia ini.
اللهم اجعل رزق آل محمد قوتا
Ya Allah, jadikanlah rezeki untuk keluarga Muhammad adalah sebatas untuk kebutuhan pokoknya.” (H.R. Muslim dan Turmudzi)
Yang mengagumkan, tidak ditemukan riwayat yang menyebutkan kasus perceraian beliau dengan para istri beliau, disebabkan himpitan ekonomi dan kemiskinan yang beliau alami.
Wallohu’alam bis showab.
Bisakah gugat cerai dilakukan karena suami atau istri selingkuh? Terjadinya pernikahan merupakan peristiwa yang mulia, namun tak jarang bisa juga terjadi yang namannya gugat cerai dari salah satu pihak, salah satu alasannya adalah perselingkuhan.
Ada baiknya kita ketahui dulu apa itu perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu peristiwa hukum dengan tujuan yang mulia, yakni untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan tersebut sebagaimana bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).
Akan tetapi, pada kenyataannya tak jarang kita jumpai ikatan perkawinan yang harus berakhir karena salah satu pihak, entah suami atau istri, melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu contoh yang cukup banyak terjadi adalah karena adanya perselingkuhan yang dilakukan salah satu pihak. Lantas, bisakah gugat cerai dilakukan karena suami atau istri selingkuh?
Dampak Gugat Cerai Karena Selingkuh
Ketika seorang istri yang sekaligus merupakan seorang ibu terbukti melakukan perselingkuhan, maka besar kemungkinan hak asuh anak akan jatuh kepada ayahnya. Hal ini terjadi karena perselingkuhan dinilai sebagai kegagalan dalam menjalankan peran serta kewajiban di dalam Rumah Tangga.
Selain itu, pengalihan hak asuh kepada sang ayah juga dilakukan demi kebaikan si anak ke depannya.
Apabila istri yang terbukti selingkuh melahirkan anak di kemudian hari, setelah putusnya ikatan perkawinan, maka seorang (mantan) suami berhak untuk memastikan apakah anak tersebut benar-benar anak dari hubungan dia dengan (mantan) istrinya (anak kandung) atau bukan.
Jika anak tersebut adalah anaknya, maka ia memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak itu. Akan tetapi, sebelum ada kepastian bahwa itu merupakan anaknya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan nafkah kepada anak tersebut.
Lain halnya dengan kondisi dimana istri mengajukan gugat cerai karena suami selingkuh. Apabila yang terjadi demikian, maka hak asuh anak sepenuhnya diberikan kepada istri. Namun suami tetap memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah bagi anaknya.
Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Pasal 41 butir (b) UUP yang secara jelas menyebutkan bahwa seorang ayahlah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak; kecuali jika ia (sang ayah) tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak, baik suami atau istri, melakukan perselingkuhan. Suami atau istri yang mengajukan permohonan perceraian harus menyiapkan bukti atas perselingkuhan yang dilakukan pasangan untuk menjadi bahan pertimbangan hakim di pengadilan.
Setelah permohonan perceraian dikabulkan, maka hakim akan memutuskan hak asuh terhadap anak hasil dari perkawinan, apabila pasangan yang baru saja bercerai tersebut telah memiliki anak.
Membutuhkan bantuan hukum? Anda dapat menghubungi IHW Lawyer di telepon 0812-1203-9060 atau email di [email protected] untuk mendapatkan jasa pengacara yang profesional, amanah dan berpengalaman di bidangnya.
Jangan biarkan permasalahan hukum yang Anda hadapi menggangu ketenangan hidup Anda!
IHW, demikian sapaan lainnya. Sejak diangkat sebagai advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada tahun 2010, lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung ini telah memegang banyak perkara litigasi. Mulai dari hukum pidana, perdata, hukum keluarga dan juga ketenagakerjaan.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan judi dan pinjaman online adalah paket lengkap untuk memperburuk kondisi rumah tangga. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2023, sepanjang 2022 terdapat 1.178 kasus perceraian yang diakibatkan judi. Adapun menurut data Badan Pusat Statistik sepanjang 2023, terdapat 1.572 kasus perceraian karena judi.
"Misalkan kondisi keuangan keluarga yang tidak stabil, belum pulih dari COVID-19, kemudian terpuruk, misalnya dalam pinjaman online atau judi online, otomatis kan membuat kondisi rumah tangga itu tidak stabil," ujarnya kepada detikX pada Selasa, 18 Juni 2024.
Judi online menjadi pemicu terjadinya kekerasan ekonomi terhadap perempuan. Dalam banyak kasus, pelaku judi dengan paksa menguasai harta korban. Misalnya melakukan pengisian judi slot melalui gawai dan rekening istri. Lalu, di banyak kejadian, pelaku menjual atau menggadaikan barang pasangan. Selain ketagihan judi online, biasanya pelaku juga akan terjerat pinjaman online.
Di sisi lain, Siti mendesak agar pemerintah tegas menindak dan memblokir akses aplikasi judi. Setelah itu, pihak-pihak di balik judi online juga harus menerima hukuman setimpal.
Namun Siti juga mengingatkan, orang tertarik pada pinjaman dan judi online karena tergiur pendapatan tambahan. Artinya, selama ini upah yang diterima kelewat rendah. Untuk itu, selain memutus akses aplikasi judi online, pemerintah harus menaikkan tingkat upah agar ekonomi keluarga lebih stabil.
Terjadi di Berbagai DaerahSepanjang 2022, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, terdapat 1.191 kasus perceraian akibat judi. Angka ini terus bertambah dari dua tahun sebelumnya, yaitu 648 kasus pada 2020 dan 993 kasus pada 2021. Mirisnya, pada 2023, perceraian akibat judi menembus 1.572 kasus. Jumlah ini meningkat 32 persen dalam setahun dan melesat 142,6 persen dibandingkan pada 2020 atau awal pandemi COVID-19.
Judi bahkan menjadi penyebab perceraian terbanyak setelah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, ekonomi, meninggalkan salah satu pihak, dan mabuk. Adapun provinsi dengan kasus perceraian terbanyak akibat judi adalah Jawa Timur, disusul dengan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Gugat Cerai Karena Pasangan Selingkuh
Berdasarkan pemaparan singkat sebelumnya telah kita ketahui bahwa perselingkuhan dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan perceraian. Dalam PP 9/1975 disebutkan bahwa perselingkuhan termasuk dalam perbuatan zina.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 284 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa ada ancaman pidana berupa hukuman penjara paling lama sembilan bulan bagi suami atau istri yang melakukan perbuatan zina (dalam hal ini termasuk perselingkuhan).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa undang-undang yang berlaku di Indonesia juga melarang perbuatan zina.
Berbicara mengenai ketentuan hukum, maka tentu ada yang namanya pembuktian. Ketika seseorang, baik suami ataupun istri, mengajukan gugat cerai karena pasangannya selingkuh, maka permohonan gugat cerai tersebut bukan hanya didasarkan pada asumsi atau dugaan semata.
Namun perlu diperhatikan bahwa ia harus dapat membuktikan perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangannya. Hal ini penting untuk memperkuat pembuktian sehingga dapat menjadi pertimbangan hakim di persidangan.
Aturan tentang Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan
Kita mungkin sepakat bahwa harapan semua orang yang melakukan perkawinan adalah untuk mencapai tujuan sebagaimana yang disebutkan dalam UUP, yakni untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Dengan demikian, perceraian bukan menjadi suatu keinginan kedua belah pihak, baik laki-laki sebagai suami maupun perempuan sebagai istri.
Pasal 38 UUP menyebutkan bahwa perkawinan dapat berakhir dikarenakan tiga hal, yaitu peristiwa kematian, adanya perceraian, dan putusan pengadilan.
Berakhirnya perkawinan akibat adanya perceraian hanya dapat dilakukan di persidangan, atas dasar keputusan dari Majelis Hakim dalam persidangan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) UUP.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa perceraian tidak dapat terjadi begitu saja. Baik suami ataupun istri yang mengajukan permohonan perceraian, perlu menyiapkan alasan-alasan yang nantinya akan dikemukakan di persidangan.
Alasan Permohonan Perceraian
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (PP 9/1975) yang merupakan peraturan pelaksana dari UUP menyebutkan dengan jelas enam butir alasan yang dapat diajukan untuk permohonan perceraian. Keenam alasan tersebut antara lain sebagai berikut: